Jika hukum-hukum Tuhan (sunnatullah)
yang menguasai alam itu dipahami oleh manusia dengan benar dan mendalam, maka
alam raya itu akan bermanfaat bagi manusia. Dengan potensi akal dan penalaran
yang dimilikinya, manusia sangat mungkin untuk memahami sunatullah yang
menguasai alam itu, yang merupakan karunia Tuhan untuk manusia.
1. Karakteristik
manusia
Sebagai khalifah fi al-ardh, manusia harus berperanan
sebagai penata, pengatur, perekayasa, atau pengelola agar memanfaatkan segala
isi dan potensi alam raya ini dengan cara yang benar dan sikap yang saleh
(muhiddin, 2002: 11). Oleh karena itu manusia sebagai khalifah Tuhan, dapat
mempertahankan martabatnya dengan tidak tunduk dan menyerah kepada alam,
melainkan manusia sebagai hamba-Nya (ibadullah) hanya patut tunduk dan mengabdi
sepenuhnya kepada Allah SWT.
2. Risalah,
dakwah, dan fitrah manusia
Rasulullah Muhammad Saw, diberi tugas oleh Tuhan untuk membawa
berita gembira dan peringatan kepada seluruh umat manusia, meskipun kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. Hal ini merupakan tugas atau risalah yang
diletakkan di atas pundak Rasulullah Muhammad SAW, untuk seluruh manusia di
jagat raya ini tanpa kecuali. Kemudian setelah rasulullah wafat maka tugas atau
risalah beliau itu dilanjutkan dengan dakwah oleh umatnya. Sesungguhnya
dakwah bukan semata-mata melanjutkan risalah, melainkan dakwah adalah sebagian
dari risalah. Bahkan keseluruhan isi risalah itu adalah pula menjadi isi
dakwah. Sesungguhnya manusia memiliki karakteristik tersendiri sebagai identitasnya,
yaitu fitrah atau kesucian sebagai sifat asal yang merupakan bentuk
keseluruhan tentang diri manusia yang
secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
Fitrah itulah yang membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati
cenderung kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran (hanif).[1]
B.
Relevansi Iman, Amal, Ilmu, dan Dakwah
1.
Kaitan Iman, Islam, dan Takwa
Iman berarti kepercayaan akan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Iman juga dipahami sebagai ketetapan hati atau keteguhan batin. Orang yang
beriman disebut mukmin. Penyerahan diri dan pengabdian secara mutlak
kepada Tuhan, itulah yang disebut dengan islam. Islam atau penyerahan diri
secara mutlak kepada-Nya, berarti siap menjalankan semua perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya. Orang yang menjadikan islam sebagai agamanya dan
melakukan penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya disebut muslim.
Refleksi iman dan islam itu kemudian melahirkan takwa (taqwa), yaitu
manifestasi pelaksanaan keyakinan kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Takwa sebagai manifestasi dari iman dan islam, adalah nilai yang sangat
dinamis, karena ia tidak tersimpan begitu saja dalam lubuk hati yang paling
dalam, melainkan memancar keluar dalam bentuk akhlak yang mulia dan hadir dalam
wujud realitas-realitas karya manusia bagi kepentingan kemanusiaan, yang
disebut dengan amal saleh.
2.
Amal Saleh dan Esensi Dakwah
Amal saleh adalah sesungguhnya merupakan bentuk nyata dan konkrit
dari refleksi sikap penghayatan kepada Tuhan, yaitu takwa yang lahir dari iman
dan islam. Amal saleh tidak lain dari tindakan-tindakan atau perbuatan manusia
yang serasi, harmonis atau saleh dalam hubungan dengan lingkungan di sekitarnya
secara menyeluruh, khususnya dalam hubungannya dengan sesama manusia itu
sendiri. Jadi, amal saleh adalah puncak kebajikan manusia, sebagai refleksi
iman, islam, dan takwa kepada Tuhan. Dengan kualitas iman, takwa, dan amal
saleh, maka manusia telah sampai pada puncak kemanusiaan yang tinggi yang
disebut dengan ikhsan yaitu manusia telah sampai mengidentifikasikan
kemauannya dengan kemauan Tuhan dan telah berbuat di dunia ini menurut kehendak
Tuhan, dan membenci apa yang dibenci Tuhan. Pada diri seseorang yang mencapai
kualitas ikhsan, dengan sendirinya dakwah melekat secara kuat tak terlepaskan.
Bahwa seorang individu (muslimin atau muslimat) melakukan dakwah selain, karena
perintah Tuhan, ia juga didorong oleh keinginannya sendiri sebagaimana
fitrahnya. Fitrah mendorong manusia berkeinginan suci dan berbuat baik
(berdakwah), dan hal inipun menjelaskan ekstensinya sebagai makhluk sosial.
Manusia hidup bermasyarakat dan memasyarakatkan diri pada dasarnya didorong
oleh masalah hidupnya sendiri.[2]
3.
Ilmu dan Pelaksanaan Dakwah
Ilmu dan teknologi merupakan produk dari kerja akal dan penalaran
serta ketrampilan manusia, yang sangat berguna dalam memakmurkan bumi serta
mengembangkan kebudayaan dan peradaban. ilmu dan teknologi juga sangat
diperlukan dalam pelaksanaan dan pengembangan dakwah yang efektif. Tanpa
pemanfaatan ilmu dan teknologi, dakwah tidak akan berkembang efektif, dan
bahkan dapat dikalahkan oleh “lawan dakwah” yang justru sarat dengan muatan
ilmu dan teknologi. Dapat disimpulkan bahwa ilmu dan teknologi dalam pelaksanaan
dakwah sangat diperlukan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi. Ilmu yang
sangat dekat dengan dakwah yaitu ilmu komunikasi yang telah berkembang dan
diakui secara internasional. Sedangkan teknologi yang dekat dengan dakwah
adalah teknologi komunikasi terutama yang berkaitan dengan media massa (pers,
film, radio dan televisi) dan media interaktif atau media sosial melalui
komputer yang sering juga disebut dengan internet (international networking).[3]
C.
Dimensi dakwah
Dakwah merupakan fenomena keagamaan
yang bersifat ideal normatif sekaligus juga merupakan fenomena sosial yang
rasional, aktual dan empiris sebagai sunnatullah. Justru itu dakwah berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut sejalan dengan pandangan
bahwa dakwah merupakan amal saleh (syariah dan akhlak) yang bersumber dari iman
(aqidah), takwa (apresiasi ketuhanan) dan islam (penyerahan diri) yang harus dilaksanakan sesuai sunatullah yang
dipahami manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan.
1.
Pesan Suci Dakwah
(Q.S. Ali Imran, 3: 104) “Dan hendaklah diantara kamu ada
segolongan orang-orang yang menyeru
kepada al-khayr, amr ma’ruf, dan nahy munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung”. Dalam firman Allah tersebut terdapat tiga level
pesan suci yang amat penting yaitu, (1) panggilan, ajakan atau seruan kepada al-khayr,
(2) anjuran, suruhan, kepada al-ma’ruf dan, (3) pencegahan dari al-munkar.
Ketiga level dari asep muhidin (2002: 17) itu disimpulkan lebih lanjut bahwa
pesan suci pertama menyangkut ajakan dan seruan pada nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran yang prinsipil, universal, dan masih abstrak. Pesan suci yang kedua
menyangkut perintah penjabaran nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang
universal itu dalam kehidupan sehari-hari secara konkrit. Sedangkan pesan suci
yang ketiga ialah menyangkut pencegahan dari hal-hal yang memang ditolak dan ditentang oleh nurani manusia.
Sejalan dengan Abu A’la Maududi (1970:32), menjelaskan bahwa
perkataan ma’rufat adalah nama untuk segala kebajikan atau sifat-sifat
baik yang sepanjang masa diterima sebagai baik oleh hati nurani manusia.
Sebaliknya perkataan munkarat adalah nama untuk segala dosa dan
kejahatan-kejahatan yang sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia
sebagai jahat. Dengan kata lain munkarat adalah justru sebaliknya.
2.
Kehadiran Dai dan Mubaligh
Dakwah harus berjalan terus-menerus tanpa henti, yang dilaksanakan
oleh da’i dan mubaligh (komunikator dakwah), yang sesungguhnya merupakan tugas
setiap manusia atau setiap individu, sebagaimana eksistensi dakwah sebagai
suatu amal saleh. Justru itu, dakwah harus diamalkan atau dilaksanakan sebagai fardu-ain,
sehingga tidak seorangpun boleh menghindarinya. Jadi pelaksanaan dakwah itu
dibebankan kepada tiap-tiap individu tanpa kecuali, sehingga dengan demikian
tugas dakwah adalah tugas semua manusia sesuai kemampuannya. Walaupun demikian
dalam pelaksanaan dakwah hendaknya dilakukan oleh seseorang sebagai pilihan
hidup dan bidang keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan, pengalaman
dan pengabdian. Demikian juga dakwah hendaknya dilakukan secara bersama-sama
dengan individu-individu lain dalam suatu kelompok, organisasi atau korps,
sehingga pelaksana dakwah itu terorganisasi dan terlembagakan.[4]
3.
Ciri Khas Materi Dakwah
Materi (maddah) dalam dakwah sangat khas, karena tidak lain
dari al-khayr, amr maruf, dan nahy munkar. Meskipun demikian dalam
kenyatannya terdapat perbedaan penafsiran, sehingga perlu ada kriterium yang
konkrit sebagai pegangan dalam menentukan arti baik dan buruk itu secara
esensial. Oleh karena itu dakwah sebagai perintah agama islam dan istilah khas
umat islam dalam menyebarkan ajaran-ajarannya, maka dengan sendirinya
pengertian yang baik dan yang buruk itu terjabar seluruhnya dari islam sebagai
keyakinan dan pandangan hidup. Dapat juga dikatakan bahwa materi (maddah)
dakwah secara umum ialah “keyakinan dan pandangan hidup islam”, yang
sesungguhnya bersifat universal dan sesuai dengan fitrah dan kehanifan manusia.
D.
Tujuan, Fungsi, dan efek Dakwah
Tujuan dakwah
dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan
dakwah. Sebab, tanpa tujuan yang jelas, seluruh aktivitas dakwah akan sia-sia.
Menurut Sokhi Huda, secara mendasar, tujuan dakwah dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu tujuan sementara dan tujuan final. Tujuan dakwah yang bersifat
sementara artinya tujuan yang bersifat duniawi. Dalam hal ini adalah
terlaksananya ajaran Islam dan tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia.
Sedangkan tujuan dakwah yang bersifat final artinya tujuan yang bersifat
ukhrawi. Dalam hal ini adalah tercapainya kebahagiaan hidup manusia di akhirat.[5]
Muhammad Natsir mengemukakan bahwa
tujuan dakwah adalah:[6]
Ø Memanggil manusia kepada syariat untuk memecahkan persoalan hidup,
baik persoalan hidup perorangan ataupun rumah tangga, berjamaah, bermasyarakat,
bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan bernegara.
Ø Memanggil manusia kepada fungsi hidup sebagai hamba Allah Swt di
muka bumi, menjadi pelopor, pengawas, pemakmur, pembesar kedamaian bagi umat
manusia.
Ø Memanggil manusia kepada tujuan hidup yang hakiki yaitu menyembah
Allah Swt. sebagai satu-satunya zat Pencipta.
1.
Dakwah dan Kehidupan Islami
Dakwah memiliki tujuan
dan fungsi yang bersifat sosial yaitu menghasilkan kehidupan damai, sejahtera,
bahagia, dan selamat. Hal ini dapat dipahami sebab dakwah akan merentangkan
jalan menuju kehidupan yang islami yaitu damai, selamat, bahagia dan sejahtera,
dengan islam selaku penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, dan memeluk islam
sebagai agama (peraturan hidup dari Tuhan) pula, dengan terlebih dahulu beriman
atau percaya kepada-Nya.
[1] Arifin Anwar,
Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hal:
2-5
[2] Arifin Anwar,
Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hal:
6-12
[3] Ibid, hal:
13-16
[4] Arifin Anwar,
Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hal:
19