Pages

Aksiologi Dakwah Islam

BAB I PENDAHULUAN
A. Landasan Aksilogi Ilmu Dakwah
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
a. Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam  menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
b. Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
c.Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.[1]
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda.

1. Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
2. Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a. Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b. Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
3. Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.


BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.[2]
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.[3]
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[4]
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[5]
Aksiologi adalah abang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk  (baca: mempunyai akibat positif atau negatif) dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.
Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran. Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Quran yang relevan, adalah untuk
1. Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?(QS 41:53)
2. Mendekatkan diri kepada Allah sebagai kebenaran
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku(QS.51:56)
3. Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam (Rahmat li al-Alamin)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam(QS.21:107

B. Memahami kebenaran
Dalam Al-Quran, kebenaran itu disebut dengan istilah al-haq. Dalam Al-Quran kebenaran berhubungan dengan keadilan dan persamaan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ayat al-Quran yang diantara kandungan katanya adalah istilah al-haq.
1.                        Maka (dzat yang demikian) itulah Allah, Tuhan kamu yang al-haq. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)(QS 10: 32)
2.                        (kuasa Allah) yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang al-haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil(QS 22: 62)
3.                        Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya (al-haq) dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang al-haq. (QS 24:25)
Beberapa ayat al-Quran seperti dikutip diatas memberitahukan bahwa kebenaran itu milik Allah, bersifat abadi, sangat nyata dan tidak pernah membuat celaka bagi umat manusia khususnya. Dalam salah satu karyanya, Yusuf  Qardhawi mengemukakan penggunaan kata al-haq oleh beberapa kalangan dalam pengertian masing-masing. Al-haq bagi filosof adalah perpaduan antara kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Mereka yang menekuni bidang etika mengartikan al-haq sebagai sisi lain dari kewajiban, seperti dapat dipahami dari ungkapan “setiap hak harus diimbangi dengan kewajiban”.

C. Persoalan Rekayasa Masa Depan 
Perubahan sosial adalah perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial. Bisakah arah perubahan sosial diramalkan dan dikendalikan menjadi perdebatan terutama di kalangan ilmuan social. Sebagian dari mereka menolak kemungkinan manusia memberi arah atau mengarahkan perubahan sosial. Namun demikian, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Bahwa manusia dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah perubahan sosial. Merujuk pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan disebut dengan beberapa istilah, diantaranya rekayasa-sosial, perencanaan-sosial, dan manajemen-perubahan.
Ilmuan dakwah sepakat bahwa arah perubahan sosial dapat diramalkan, diarahkan dan direncanakan. Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama dapat dimulai dari perubahan individual, baik dalam cara berfikir maupun bersikap. Dalam konteks dakwah, arah perubahan yang dituju adalah pembentukan khairu ummah. Dalam al-Quran khairu ummah disebut dengan istilah ummah muslimah atau ummat wasat dalam QS 2:128 dan 143.[6]
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau(Ummat Muslimah) dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi maha penyayang. (QS.2: 128)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (umat wasath) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…(QS. 2: 143).
Dengan merujuk pada pendapat Jalaluddin Rakhmat, rekayasa sosial dapat dipahami sebagai pemasaran sosial. Dalam pengertian tersebut, dalam upaya merekayasa umat menuju kearah pembentukan khaira ummat, da’I dalam proses da’wahnya dapat dikatakan sebagai memasarkan rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat, dalam konteks penegakan kebenaran dan keadilan.
Dalam QS 57: 25 terkandung antara lain tiga istilah yang dipahami oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai tiga macam cara bagaimana rasulullah merekayasa ummat.
1.                        Al-Kitab, yaitu mengembalikan umat manusia pada fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai ilahiyah,
2.                        Al-Mizan, yaitu mengembangkan argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta kejernihan pola fikir,
3.                        Al-Hadid, yaitu berusaha memiliki kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan, seperti yang telah diberikan oleh Allah kepada Rasulullah.
Sebagai suatu system, rekayasa social mempunyai beberapa unsur yaitu,
1.                        Strategi perubahan dapat berupa strategi pembangunan, strategi revolusi, strategi persuasi, strategi normatif re-edukatif.
2.                        Pelaku perubahan pada pokoknya terdiri dari dua kelompok, yaitu leaders dan supporters.
3.                        Adapun unsur target perubahan, maka hal itu bersifat kondisional disesuaikan dengan rekomendasi hasil penelitian dan pertimbangan di lapangan tentang apa yang dirasa mendesak untuk diselesaikan.
4.                        Sedangkan unsur media secara garis besar dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu media pengaruh dan media respon.

D. Persoalan Nilai-Nilai Islam
Nilai (value) merupakan suatu konsep yang sangat bermakna ganda. Nilai adalah pandangan tertentu yang berkaitan dengan apa yang penting dan yang tidak penting. Dalam ilmu social persoalan nilai dapat dimaknai dalam pengertiannya yang terdiri dari dua subkelas: yaitu nilai sebagai obyek dari tujuan-tujuan yang disetujui secara social dan nilai sebagai sumbangan untuk mencapai kemakmuran masyarakat.[7] Istilah nilai terkadang dilawankan dengan “fakta” dan juga dianggap sebanding dengan kebaikan untuk dilawankan dengan ketepatan. Al-Quran dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi yang ditetapkan oleh Allah dan merupakan nilai-nilai resmi dari-Nya. Nilai-nilai yang termuat dalam al-Quran selamanya “ada di langit” kecuali setelah melalui proses dakwah.
Apa yang paling dasar dan paling sentral dari nilai-nilai islam adalah tauhid. Tauhid adalah suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Konsep tauhid itu ternyata mempunyai arus balik kepada manusia. Di dalam al-Quran banyak dijumpai seruan agar manusia beriman dan beramal. Sebagaimana ayat berikut ini:
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS 2: 3).
Ayat diatas mengajarkan trilogi: iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, dapat ditemukan juga trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan hal itu, maka dapat dikemukakan bahwa iman berujung pada amal. Artinya, iman yang berpangkal pada Tuhan harus diaktualisasikan dalam kehidupan nyata yang berujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, islam itu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Penanaman nilai-nilai islami yang tidak disertai dengan proses dialog yang sungguh-sungguh dengan tata nilai yang secara real telah berlaku di masyarakat, hanya akan menimbulkan kesenjangan yang semakin tajam antara tata-tata nilai yang diidam-idamkan dan kenyataan yang ada. Cara itu hanya akan menimbulkan pernyataan nilai-nilai secara verbal. Penanaman nilai-nilai islami ke dalam realitas kehidupan manusia pada dasarnya adalah suatu rekayasa budaya dan strategi kebudayaan yang berlandaskan pada konsep-konsep yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah berhenti. Itulah sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang mengitarinya. Agar tata nilai islami dapat hidup dan berkembang di masyarakat, dengan demikian tidak cukup hanya disampaikan dengan menggunakan dakwah bi al-lisan semata, lebih dari itu diperlukan juga tahap-tahap lain secara berkesinambungan dalam wujud rekayasa social yang terpadu.
Gagasan fazlurrahman tentang pola penafsiran al-Quran terbagi ke dalam dua gerakan.
1.                        Langkah memahami arti atau makna dari suatu pernyataan al-Quran dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Quran tersebut merupakan jawabannya.
2.                        Langkah melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral social umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rasiologis yang sering dinyatakan.


Dafar pustaka
1.Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. Bandung. Penerbit Alfabeta CV. 2. http://www.scribd.com/doc/3011593/Filsafat-Dakwah 3.http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu 4.Drs. Ali Abri, MA (Sewaktu Menjadi Dosen Fak Syari’ah IAIN SUSQA). Filsafat Umum Suatu Pengantar. Untuk Kalangan Sendiri. 5.Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. 1996. Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana. 6.Sulthon, Muhammad. Desain Ilmu Dakwah. 2003. Semarang. Pustaka Pelajar.






[1] http://www.scribd.com/doc/3011593/Filsafat-Dakwah

[2] Dikutip dari http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu

[3] Drs. Ali Abri, MA (Sewaktu Menjadi Dosen Fak Syari’ah IAIN SUSQA). Filsafat Umum Suatu Pengantar. Untuk Kalangan Sendiri. Hal. 33.


[4] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. 1996. Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana. Hal. 327.


[5] Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. Bandung. Penerbit Alfabeta CV. Hal 36.


[6] Sulthon, Muhammad. Desain Ilmu Dakwah. 2003. Semarang: Pustaka Pelajar. Hal 136.

[7] Sulthon, Muhammad,op cit, hal141.


by: Roqit Kautsar
 

ROQIT'S BLOG Copyright © 2010-2014 | Powered by Blogger